KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat dan karunia-Nyalah makalah
Metodologi Ilmu Pemerintahan ini selesai tepat pada waktu yang telah
ditentukan.
Kami
menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan dan penyusunan makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak agar dalam penyusunan makalah menjadi lebih
baik.
Demikianlah
semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan ridho-Nya kepada kita semua. Semoga makalah
ini bermanfaat bagi semua pihak.
Pekanbaru,
November 2015
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR ……………………………………… I
DAFTAR ISI ……………………………………… II
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………… 1
1.3 Tujuan Pembahasan ……………………………………… 1
1.4 Manfaat ……………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN ……………………………………… 2
2.1 Pengertian Pendekatan
Legalistik ………………………………… 2
2.2 Ciri-ciri Pendekatan Legalistik …………………………………… 2
2.3 Pendekatan Legalistik untuk
Menganalisis Gejala dan Peristiwa Pemerintahan ………………………………. 4
BAB III PENUTUP ……………………………………… 9
3.1 Kesimpulan ……………………………………… 9
3.2 Saran ……………………………………… 9
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………… 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Ilmu
Pemerintahan di Indonesia awalnya dikembangkan sebagai bagian dari ilmu hukum.
Sehingga tidak mengherankan apabila kajian ilmu pemerintahan dapat dilakukan
melalui pendekatan legalistik (legalistic approach).
Pendekatan
Legalistik adalah salah satu cara untuk melihat gejala dan peristiwa dari sudut
pandang aturan-aturan formal. Hal tersebut sekaligus menjadi cirri yang
membedakan ilmu pemerintahan dari ilmu-ilmu sosial lainnya.
Pemerintahan
adalah gejala yang sah (kewenangan), sehingga kegiatan pemerintahan selalu
berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu gejala
dan peristiwa pemerintahan yang dapat dilihat dari pendekatan legalistic adalah
pada saat pejabat pemerintah menegakkan berbagai peraturan perundang-undangan
ditingkat nasional wujudnya berupa aktivitas oleh polisi dan PPNS (Penyidik
Pegawai Negeri Sipil) ditingkat daerah adalah Satpol PP dan PPNSD.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan pendekatan legalistic ?
2. Bagaimana
ciri-ciri pendekatan legalistic ?
3. Bagaimana
analisis tentang gejala dan peristiwa pemerintahan ?
1.3 Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui apa itu pendekatan legalistic.
2. Untuk
mengetahui cirri-ciri pendekatan legalistic.
3. Untuk
mengetahui analisis tentang gejala dan peristiwa pemerintahan.
1.4 Manfaat
Untuk
menambah pengetahuan dan wawasan didalam ilmu politik dan pemerintahan, agar
suatu saat dapat dijadikan contoh atau bahkan dapat diterapkan apabila terjun
langsung kedalam dunia politik dan pemerintahan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Pendekatan Legalistik
Pendekatan
legalistic adalah salah satu cara untuk melihat gejala dan peristiwa dri sudut
pandang aturan-aturan formal. Hal tersebut sekaligus menjadi ciri yang
membedakan ilmu pemerintahan dan ilmu-ilmu sosial lainnya. Kajian-kajian
pemerintahan tidak dapat dilepaskan dari peraturan perundang-undangan sebagai
hukum positif yang mengatur berjalannya pemerintahan.
2.2
Ciri-ciri Pendekatan Legalistik
Ciri-ciri
pendekatan legalistic dalam mempelajari ilmu pemerintahan adalah sebagai
berikut:
1. Melihat
gejala dan peristiwa pemerintahan dari dasar hukum yang mengaturnya (hukum
positif).
2. Berdasarkan
hukum positif dilakukan dengan melihat proses perbuatannya, isinya maupun
pelaksanaannya.
3. Dalam
melakukan analisis ilmu pemerintahan banyak meminjam teori ilmu hukum dan ilmu
kebijakan public.
Penyelenggaran
pemerintahan dilakukan oleh aparat-aparatnya. Setiap kebijakan pemerintah
maupun implementasinya (termasuk proyek-proyeknya) mempunyai dampak terhadap
masyarakat. Usaha untuk mendapatkan keuntungan dari kebijakan pemerintah serta
implementasinya disebut pencarian rente (reny seeking). Untuk itu pencari rente
dapat bermodalkan kedekatannya dengan kekuasaan (nepotisme atau cronism), atau
kesediaan membagi keuntungan upeti (kick back) sehingga terjadi kolusi yang
berarti juga korupsi dari pihak penyelenggara negara (eksekutif, legislative,
dan yudikatif). Kolusi dan korupsi tidak mengenal tanda terima (kuintansi).
Peraturan mencatatkan kekayaan setiap orang (termasuk anggota eksekutif ,
legislative, yudikatif, maupun swasta) selain untuk mencegah kolusi dan korupsi
juga dapat memaksimalkan pendapatan pemerintah dari sector pajak.
Kesempatan
dan ajakan setan dapat membuat penyelenggara negara lupa, karena itu diperlukan
adanya control (terutama tugas legislative). Control juga perlu dilakukan oleh
pers, cendikiawan dan masyarakat. Aparat pemerintah seharusnya menjalankan
amanat rakyat yang harus mendahulukan kepentingan masyarakat diatas kepentingan
pribadi atau golongan. Apabila aparat melakukan kekeliruan yang mengakibatkan
kekacauan, maka masyarakat dapat memberikan pandangan seperti perumpamaan
seperti ini. “apabila kamu melihat suatu kekeliruan maka ubahlah dengan
tanganmu. Apabila kamu tidak sanggup maka ubahlah dengan ucapanmu. Apabila kamu
tidak sanggup pula maka ubahlah dengan hatimu (bahwa kamu tidak setuju dengan
kekeliruan tersebut), dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” Dari perumpamaan
tadi maka dapat diartikan bahwa “tangan” adalah penguasa yang memiliki kekuasaan,
“lisan” adalah ilmuwan yang memiliki kompetensi keilmuwan, “hati” adalah rakyat
yang awam. Perumpamaan ini diungkapkan oleh Mardiasmo pada tahun 1999.
Kebudayaan
masyarakat Indonesia umumnya masih paternalistic serta berorientasi vertical
keatas. Sebagai manusia, makhluk yang fana, pemimpin dapat berbuat salah dan
berakibat fatal karena jika dibiarkan akan dicontoh oleh rakyatnya. Kritik
masyarakat dan kesediaan pemimpin untuk dikritik mutlak diperlukan. Lee Kuan
Yew dalam pidatonya diparlemen Singapura, pada 23 Februari 1977 mengemukakan
bahwa “ kapanpun, setiap saat, anda dapat menghujat perdana menteri dan selama
itu bukan dusta atau dusta criminal, anda tidak akan apa-apa. Anda dapat
mengatakan apapun. Anda dapat menulis buku mengenainya, menghujatnya. Selama
itu bukan fitnah, silahkan.” Meskipun Lee Kuan Yew bukanlah seorang yang suka
dikritik tetapi sebagai negarawan, dia tidak boleh mengharamkan kritik,
sehingga dia berusaha keras untuk tidak berbuat kesalahan dan hasilnya adalah
Singapura yang maju. Kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) tidak mendorong
kompetisi, tetapi mendorong ketidakefisienan karena yang terjadi adalah
perlombaan memberikan upeti dan bukan perlombaan meningkatkan kualitas dan
efisiensi. Hal tersebut akan menjadikan masyarakat menjadi malas dan tidak
kreatif, sehingga mengakibatkan bangsa menjadi tidak kompetitif.
Pemimpin
masa datang perlu menyadari ucapan John Naibitt bahwa “Pemimpin adalah pemberi
fasilitas bukan tukang perintah”.
2.3 Pendekatan Legalistik untuk
Menganalisis Gejala dan Peristiwa Pemerintahan
Pemerintahan
adalah gejala kekuasaan yang sah (kewenangan), sehingga kegiatan pemerintahan
selalu berkaitan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Gejala
semacam itu dapat dipahami dengan pendekatan legalistic formal, dalam arti
menggunakan rujukan berbagai peraturan yang digunakan pemerintah pada saat
membuat kebijakan, memberi pelayanan public, serta menegakkan aturan dengan
penjelasan sebagai berikut
Dye
dalam tulisan Anderson menyatakan kebijakan public adalah apa yang dilakukan
atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan menurut Anderson kebijakan
public adalah arah tindakan yang bertujuan yang diikuti oleh satu atau satuan
actor di dalam mengatasi suatu masalah atau sesuatu yang menjadi perhatian
publik. Batasan ini setidaknya menggambarkan bahwa kebijakan public melibatkan
para actor dalam tindakan yang bertujuan untuk memecahkan masalah public.
Formulasi
atau perumusan kebijakan public dapat dilihat dari perspektif ilmu politik dan
ilmu administasi public. Dilihat dari ilmu politik, perumusan kebijakan public
adalah pemikiran terhadap kebijakan public ditinjau dari proses pembuatan
kebijakan. Pendekatan ini lebih dulu berkembang dan esensinya adalah bagaimana
tawar-menawar antara kekuatan politik dalam perumusan kebijakan public.
Sedangkan dilihat dari ilmu administrasi public tidak lain berupa pemikiran
terhadap kebijakan public ditinjau dari analisis kebijakan public.
Proses
pembuatan kebijakan publik mencakup sekurang-kurangnya 5 (lima) tahapan, yaitu sebagai
berikut:
a. Agenda
setting, yaitu proses yang menggambarkan kegiatan memasukkan masalah public
kedalam agenda kebijakan. Proses ini diwarnai siapa yang paling menentukan
dalam memasukkan masalah public ke dalam agenda kebijakan. Masalah public harus
masuk kedalam agenda agar dapat menjadi perhatian untuk dibahas dan
diintervensi.
b. Policy
Formulation, yaitu proses untuk merumuskan alternative pemecahan masalah.
Proses ini diwarnai negosiasi-negosiasi antar actor politik dalam menawarkan
alternative pemecahan atau tindakan.
c. Policy
Adoption, yaitu pilihan tindakan dari berbagai alternative yang didukung oleh
actor kebijakan.
d. Policy
Impelementation, yaitu pelaksanaan kebijakan melalui unit administrasi drngan
menggunakan sumber dana dan daya.
e. Policy
Assement, yaitu penilaian implementasi kebijakan dalam rangka pencapaian tujuan
dan sasaran kebijakan.
Dalam
proses pembuatan kebijakan diperlukan metodologu analisis kebijakan yang mampu
menghasilkan pengetahuan berupa informasi yang relevan tentang kebijakan dan
prosedur analisis kebijakan. Penjelasan ini menunjukkan bahwa memahami gejala
dan atau peristiwa pemerintahan melalui pendekatan legalistic berkaitan erat
dengan ilmu kebijakan public. Artinya dalam menganalisis gejala dan atau
peristiwa pemerintahan dapat meminjam teori, model ataupun konsep yang dimiliki
ilmu kebijakan public.
Gejala
dan atau peristiwa pemerintahan tertentu selalu akan terkait dengan suatu
dasar hubungan tertentu yang dinamakan
hubungan positif. Dengan mempelajari dasar hubungan tertentu, kita dapat
mengetahui filosofi maupun paradigm yang berada dibalik gejala dan atau
peristiwa pemerintahan tertentu.
Gejala
dan atau peristiwa pemerintahan terjadi pada saat pemberian pelayanan public
oleh pejabat public. Disitu akan Nampak apakah unit organisasi atau pejabat
yang melayani memiliki kewenangan untuk itu. Sebab pelayanan public dapat pula
diberikan oleh sector non pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Pelayanan
public dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani) keperluan orang
atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan
aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Sebagaimana
telah dikemukakan pada uraian sebelumnya bahwa tugas pokok pemerintah pada
hakikatnya adalah memberikan pelayanan pada masyarakat. Ia tidaklah diadakan
untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta
menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan
kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Karenanya birokrasi
public berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan layanan baik dan
professional.
Pelayanan
public (public service) oleh birokrasi public merupakan salah satu perwujudan
dari fungsi aparatur negara sebagai abdi masyarakat disamping sebagai abdi
negara. Pelayanan public (public service) oleh birokrasi public dimaksudkan
untuk mensejahterakan masyarakat (warga negara) dari suatu negara kesejahteraan
(welfare state). Menurut lembaga administrasi negara “ pelayanan umum diartikan
sebagai segala bentuk kegiatan pelayanan umum yang dilaksanakan oleh instansi
pemerintah di pusat, didaerah dan dilingkungan badan usaha milik negara/daerah
dalam bentuk barang dan atau jasa baik dalam rangka upaya kebutuhan masyarakat
maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Dengan
demikian pelayanan public dapat diartikan sebagai pemberian layanan (melayani)
keperluan orang atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu
sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan.
Menurut
Effendi, pelayanan public yang professional, artinya pelayanan public yang
dicirikan oleh adanya akuntabilitas dan responsibilitas dari pemberi layanan
(aparatur pemerintah). Cirinya sebagai berikut:
1. Efektif,
lebih mengutamakan pada pencapaian apa yang menjadi tujuan dan sasaran.
2. Sederhana,
mengandung arti prosedur/tata cara pelayanan yang diselenggarakan secara mudah,
cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh
masyarakat yang meminta pelayanan.
3. Kejelasan
dan kepastian (transparan), mengandung akan arti adanya kejelasan dan kepastian
mengenai:
a. Prosedur/tata
cara pelayanan
b. Persyaratan
pelayanan, baik persyaratan teknis maupun persyaratan administrative.
c. Unit
kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan
pelayanan.
d. Rincian
biaya/tariff pelayanan dan tata cara pembayarannya.
e. Jadwal
waktu penyelesaian pelayanan.
4. Keterbukaan,
mengandung arti prosedur/tata cara, persyaratan, satuan kerja/pejabat
penanggungjawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tariff
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan
serta terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta
maupun tidak diminta.
5. Efisiensi,
mengandung arti:
a. Persyaratan
pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal berkaitan langsung dengan pencapaian
sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan
dengan produk pelayanan yang berkaitan.
b. Dicegah
adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat
yang bersangkutan mempersyaratkan adanya kelengkapan persyaratan dari satuan
kerja/instansi pemerintah lain yang terkait.
6. Ketepatan
waktu, kriteria ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat
diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan.
7. Responsive,
lebih mengarah pada daya tanggap dan cepat menanggapi apa yang menjadi masalah,
kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang dilayani.
8. Adaptif,
cepat menyesuaikan terhadap apa yang menjadi tuntutan, keinginan dan aspirasi
masyarakat yang dilayani yang senantiasa mengalami tumbuh kembang.
Secara
teoritis, sedikitnya ada tiga fungsi utama yang harus dijalankan oleh
pemerintah tanpa memandang tingkatannya, yaitu fungsi pelayanan masyarakat
(public service function), fungsi pembangunan (development function), dan
fungsi perlindungan (protection function).
Pelayanan
public yang diberikan pemerintah dapat berupa jasa public, pembuatan
surat-surat, pelayanan kesehatan, pelayanan pendidikan, dan lain sebagainya.
Bentuknya berupa barang public (public goods) baik yang disubsidi maupun tidak.
Contohnya seperti jalan raya, jalan kereta, bahan bakar minyak, listrik, air
bersih, jaringan internet dan lain sebagainya.
Salah
satu gejala dan peristiwa pemerintahan yang dapat dilihat dari pendekatan
legalistic adalah pada saat pejabat pemerintah menegakkan berbagai peraturan
perundang-undangan ditingkat nasional wujudnya berupa aktivitas oleh polisi dan
PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) ditingkat daerah adalah Satpol PP dan
PPNSD.
Melalui
pendekatan legalistic dimaksudkan bahwa pembelajar dan pelaksana pemerintahan
memahami berbagai aturan hukum yang menjadi dasar dari tindakannya. Kajian ilmu
pemerintahan dapat berangkat dari peraturan perundang-undangan yang berlaku,
dengan meletakkan pada proses, isi, implementasi maupun evaluasinya.
Hukum
adalah alat membuat masyarakat lebih baik. Ada yang menyebut “law is a tool for
social engineering”. Dengan hukum kita dapat membawa masyarakat menjadi
bermoral, beridisiplin, dan bekerja keras. Walaupun demikian pelaksanaan hukum
yang adil perlu disertai peraturan hukum yang cukup dan adil pula.
Menganalisis gejala dan peristiwa
pemerintahan dengan hukum yang sudah tidak berlaku menjadi kurang bermakna,
kecuali sekedar untuk membandingkan dari satu hukum ke hukum yang lain.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui pendekatan legalistic dimaksudkan bahwa
pembelajar dan pelaksana pemerintahan memahami berbagai aturan hukum yang
menjadi dasar dari tindakannya. Kajian ilmu pemerintahan dapat berangkat dari
peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan meletakkan pada proses, isi,
implementasi maupun evaluasinya.
3.2 Saran
Dengan penulisan makalah ini, kami
berharap dapat menambah wawasan bagi pembaca maupun bagi penulis, khususnya
pada materi jenis-jenis teori dalam ilmu politik dan pemerintahan.
DAFTAR
PUSTAKA
Wasistiono Sadu, Simangunsong
Fernandes, 2015. Metodologi Ilmu Pemerintahan.Bandung. IPDN PRESS